Sejarah

Medan Laga Madura Dalam Perang Tahta Jawa II

Peta Rekonstruksi: Ricklefs, 1993: 170.
Peta rekonstruksi: Ricklefs, 1993: 170. Menunjukkan adanya medan laga Madura pada episode Perang Tahta Jawa II, khususnya pada tahun 1718.

Peta rekonstruksi: Ricklefs, 1993: 170.
Menunjukkan adanya medan laga Madura pada episode Perang Tahta Jawa II, khususnya pada tahun 1718.

(Keterangan: Ricklefs hanya menuliskan Pakubuwana I, sebagai Susuhunan di Kartasura, karena memang di era pemerintahan beliau sudah mulai bermunculan rangkaian peristiwa pemantik Perang Tahta Jawa II di era putera beliau: Susuhunan Amangkurat IV)

Pada peta ini, terlihat bahwa di pulau Madura digambarkan garis panah putus-putus, yang dimaksudkan sebagai pergerakan ofensif kubu Pakubuwana I-VVOC. Terlihat pula penomoran, yakni angka 3, menunjukkan bahwa kampanye militer tersebut terjadi di bulan Agustus 1718. Arah dari garis panah putus-putus tersebut berawal dari kota Surabaya, menyeberang selat Madura menuju Pamekasan, dilanjutkan perjalanan darat ke barat, melewati Sampang, dan berakhir di Tanjung (yang dimaksud ialah: Tonjhung). Hal ini merujuk pada suatu peristiwa, garis panah putus-putus ini merupakan gambaran pergerakan pasukan gabungan Madura-Jawa-VOC dari Surabaya untuk menggempur Tonjhung, yang saat itu diduduki pasukan Bali pimpinan Dewa Ketut.

Peristiwa ini tidak serta-merta terjadi, melainkan merupakan rangkaian peristiwa yang berjalan kronologis pada beberapa waktu sebelumnya. Beberapa peristiwa yang dimaksud ialah:
Perang Tahta Jawa I berlangsung pada 1704–1708. Perang ini berdampak besar bagi Madura, yakni adanya kontrak perjanjian Susuhunan Pakubuwana I-VVOC, 5 Oktober 1705. Pasal 4 pada kontrak perjanjian ini menegaskan bahwa Pamekasan dan Sumenep telah diserahterimakan oleh Susuhunan Pakubuwana I kepada VOC, dan secara administratif kedua wilayah ini tak lagi berada dalam pangkuan Panembahan Cakraningrat II.


Panembahan Cakraningrat II wafat di Kamal tahun 1707.
Pangeran Cakraningrat III bertahta di Madura Barat sejak 1707.
Sejak tahun 1712, Pangeran Cakraningrat III enggan menghadap ke Kartasura.
Hubungan Madura Barat dan Pamekasan renggang, karena permasalahan penguasa Pamekasan dengan puteri penguasa Madura Barat, yang ternyata mengundang konflik terbuka antara kedua wilayah ini.
Pangeran Cakraningrat III meminta bantuan pasukan kepada Bali untuk menghadapi segala kemungkinan atas Pamekasan.


Arya Jayapuspita, penguasa Kasepuhan Surabaya, pahlawan besar asal Surabaya, memulai perlawanan terhadap Kartasura, VOC pada tahun 1717. Ketika itu, terdapat banyak wilayah yang mendukung Kartasura-VVOC, namun juga tak jarang yang menentangnya (mendukung Arya Jayapuspita). Penguasa Madura Barat, yakni Pangeran Cakraningrat III, memilih “netral” dengan alasan Madura Barat sedang bersiap menghadapi Pamekasan. Tetapi pihak Kartasura menganggap sikap penguasa Madura ini terlalu ambigu, sehingga perlu “ditindaklanjuti”.
Banyak sekali Laskar Bali ???? yang tergabung bersama pasukan Arya Jayapuspita pada peperangan di Surabaya.


Sembari menunggu kedatangan pasukan Bali, Pangeran Cakraningrat III menitahkan adindanya, yakni Raden Tumenggung Suraadiningrat (kelak Pangeran Cakraningrat IV) untuk memimpin pasukan dalam menghadapi Pamekasan.
Raden Tumenggung Suraadiningrat rupanya berniat untuk mengambil alih puncak pimpinan Madura Barat dari kakandanya. Beliau menghubungi Tumenggung Cakrajaya (patih Kartasura) yang sedang berperang melawan Arya Jayapuspita di Surabaya, dan terbentuklah suatu kesepakatan bahwa Kartasura dan VOC akan mendukung Raden Tumenggung Suraadiningrat untuk bertahta. Tetapi pertanyaannya adalah: “Mengapa Raden Tumenggung Suraadiningrat memilih untuk mengambil alih Keraton Tonjhung serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan Tumenggung Cakrajaya?”
Tumenggung Cakrajaya menghubungi Pamekasan dan Sumenep, untuk membantu Raden Tumenggung Suraadiningrat menghadapi Pangeran Cakraningrat III di Tonjhung.


Keraton Tonjhung jatuh pada Raden Tumenggung Suraadiningrat pada Januari 1718.
Pangeran Cakraningrat III segera mengungsi. Beliau naik ke kapal Oegstgeest milik VOC pada malam pergantian tanggal 16 menuju 17 Januari 1718. Kapal ini dipimpin oleh Kapten De Chavonnes dan Letnan La Rose. Karena “salah paham”, maka terjadilah bentrokan di kapal itu, sehingga menewaskan Letnan La Rose di tangan putera Pangeran Cakraningrat III dan kemudian Kapten De Chavonnes di tangan Pangeran Cakraningrat III. Namun malangnya, Pangeran Cakraningrat III pun gugur pada peristiwa itu.
Raden Tumenggung Suraadiningrat naik tahta dengan gelar Pangeran Cakraningrat IV.
Pangeran Cakraningrat IV menentukan sikap terhadap peperangan di Surabaya, yakni turut melawan Arya Jayapuspita, sehingga beliau berangkat ke Surabaya untuk bertempur.


Beberapa saat kemudian, pasukan Bali yang “diundang” oleh almarhum?ℎ?? Pangeran Cakraningrat III, tiba di Tojhung. Mereka berduka dan kecewa karena Pangeran Cakraningrat III telah wafat, oleh karenanya mereka memilih untuk menyerang Tonjhung. Pertanyaannya ialah: “Mengapa pasukan Bali ini tiba-tiba menyerang Tonjhung? Apakah hal ini murni karena rasa kecewa atas wafatnya Pangeran Cakraningrat III? Atau justru ada kaitan dengan Laskar Bali???? ???? yang juga berperang pada kubu Arya Jayapuspita yang sedang digempur oleh Pangeran Cakraningrat IV, penguasa Keraton Tonjhung yang baru?”
Mendengar hal itu, Pangeran Cakraningrat IV berkoordinasi dengan Tumenggung Cakrajaya. Oleh karena beliau masih belum dapat kembali ke Madura, maka beliau menunjuk adiknya, yakni Raden Cakranegara untuk melawan pasukan Bali di Madura.


Raden Cakranegara memilih untuk bersekutu dengan pasukan Bali yang dipimpin oleh Dewa Ketut untuk melawan Pangeran Cakraningrat IV. Raden Cakranegara menobatkan diri sebagai penguasa baru Madura Barat dengan gelar Pangeran Jimat.


Melihat situasi genting ini, pasukan gabungan Madura (dipimpin oleh Pangeran Cakraningrat IV), Jawa, dan VOC (dipimpin oleh Mayor Gustaaf dan Kapten Tonar) berangkat ke Madura, dengan tujuan: “Merebut kembali Madura Barat dari tangan Pangeran Jimat dan Dewa Ketutut.”
Pasukan gabungan ini bergerak dan bertempur pada Augustus 1718. Pasukan Pangeran Jimat dan Dewa Ketut berhasil dikalahkan, sehingga tahta Madura Barat berhasil direbut kembali oleh Pangeran Cakraningrat IV. Pangeran Jimat pun turut serta pasukan Dewa Ketut yang kembali ke Bali.
Pangeran Cakraningrat IV memindahkan pusat pemerintahannya, dari Keraton Tonjhung menuju Keraton Sembilangan.
Perang Tahta Jawa II pun terus berkobar hingga tahun 1721, dan baru benar-benar berakhir pada tahun 1723.

?????????:
– ???ℎ-???????? ??ℎ????? ?? ‘? ??????? ???????
– De Jonge, J.K.J. 1877. ?? ??????? ??? ??? ???????????ℎ ????? ?? ???? – ?????: ?? ????. Gravenhage: Martinus Nijhoff, Amsterdam: Frederik Muller.
– Ricklefs, M.C. 1993. ???, ??????? ??? ??????? ?? ????, 1677-1726 : ????? ??? ???????? ??????????? ?? ?ℎ? ????? ????????? ??????. Sydney : Allen & Unwin.
– __________. 2007. ??????ℎ ????????? ?????? 1200-2004, ???. ??-3. ???????ℎ??: ?????? ??ℎ???, ???. Jakarta: Serambi.
– Rifai, M.A. 1993. ???????? ??????ℎ ??????. Surabaya: Yayasan Lebbur Legga.
– Stapel, F.W. 1935. ?????? ???????????? ?????????-??????? ???. ??. KITLV 93.
– Tjakraningrat. 1936. ??????? ?? ???? ???????ℎ???. Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff. & Co.
– Wongsokasoemo, R. & M.S. Notosoedjono. ??????? ???????.

Exit mobile version