BANGKALAN – Terjadinya kericuhan di dalam lokasi Grand Final Kerapan Sapi Piala Presiden di Stadion Kerapan Sapi (Skep) RP. Moh Noer memantik perhatian sejumlah akademisi dan Budayawan Madura.
Perlombaan kerapan sapi yang seharusnya menjadi tontonan menghibur masyarakat berubah seketika menjadi adu kekuatan antar kelompok sehingga sempat mencekam.
Tradisi dan simbol icon Madura itu tercoreng akibat adanya sejumlah orang saling pukul dan membawa senjata tajam ke dalam arena stadion skep saat terjadi kericuhan.
Anehnya, panitia dan unsur keamanan dari Polres Bangkalan dan Kodim 0829/Bangkalan dinilai gagal dalam melakukan pemeriksaan senjata tajam.
Hingga kini keberadaan sajam saat kericuhan acara karapan sapi piala presiden tersebut belum berhasil diusut polres Bangkalan.
Pengamat budaya Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Iskandar Dzulkarnain mengatakan bahwa pagelaran karapan sapi sudah ada sejak masa kerajaan, saat ini dilestarikan dengan merayakan nilai kultural, tapi tidak boleh hilang dari bentuk utamanya.
“Karapan sapi ini melibatkan berbagai unsur masyarakat yang tidak bisa dihindari adanya kericuhan, sehingga harusnya bisa diatur dan diantisipasi dengan aturan oleh panitia,” ujarnya, Selasa (10/10/2023).
Adanya senjata tajam saat pagelaran karapan sapi kemarin merupakan bentuk nyata kelalaian panitia sehingga penonton yang membawa dan bahkan melukai itu menurutnya merupakan tindakan kriminal sehingga agar tidak disamakan dengan nilai kultural budaya kerapan sapi.
“Kerusuhan, senjata tajam, dan karapan sapi harus dipisahkan penanganannya, karapan sapi dilestarikan, kerusuhan dan sajam harus ditindak sebagai bentuk pelanggaran,” tuturnya.
Salah seorang budayawan Bangkalan R Muhammad Bin Rahmad mengatakan jika esensi pagelaran karapan sapi sejak dulu adalah untuk menjalin silaturahmi masyarakat di Madura yang mayoritas sebagai petani.
“Sapi bagi petani ini sumber kehidupan, dulu juga dipakai untuk karapan untuk silaturrahmi antar masyarakat,” katanya.
Pagelaran karapan sapi itu merupakan kegiatan yang dinantikan karena menyenangkan dan menciptakan suasana gembira dilingkungan masyarakat, kalau sekarang kemudian jadi kompetisi dan gelar juara jadi rebutan, itu sudah berkembang.
“Dulu tidak ada juaranya, makanya ada istilah golongan atas dan golongan bawah, jangan sampai kegiatan budaya yang menggembirakan jadi mencekam,” Pintanya.
Selama ini, pagelaran karapaan sapi selalu ketat persoalan kemanan dan pemeriksaan. Apalagi sampai ada senjata tajam, itu membahayakan bagi banyak orang yang datang.
“Saya rasa aparat kepolisian sudah berupaya, tetapi masih perlu banyak evaluasi,” tutur dia.
Sementara itu, Kapolres Bangkalan AKBP Febri Isman Jaya untuk meminta informasi penyelidikan kepemilikan senjata tajam kericuhan di lapangan karapan sapi mengarahkan untuk menghubungi Kasatreskrim Polres Bangkalan.
“Secara teknis ke Kasat, saya masih rapat koordinasi di Surabaya,” Singkatnya.
Sedangkan Kasatreskrim Polres Bangkalan AKP Bangkit Dananjaya hanya merespon singkat masih di Surabaya sedang mengikuti rakor. (ang)