Dalam memoar yang pernah dikisahkan oleh santri beliau, Kiyai Nawawi (Wafat 2004) adalah seorang kiyai yang sangat memelihara keistiqamahan.
Pada suatu ketika, satu hari menjelang hari lebaran, Kiyai Nawawi berkeliling menyusuri kawasan pesantren. Beliau mencari (barangkali ada) salah seorang santri yang tidak mudik. Benar saja, ada satu santri yang sedang berkemas-kemas. Kemudian beliau memanggilnya hanya untuk mengaji kitab satu baris saja. Di akhir penjelasannya beliau berkata, “Ngajhi reya, cong, se paleng penting istiqomanah” (mengaji itu, nak, yang terpenting istikomahnya).
Pada satu kesempatan yang berbeda, Kiyai Nawawi datang dari bepergian sekitar jam 12 malam. Kebiasaan beliau sehabis sholat Isya’ mengkaji kitab (molang)Tafsir Jalalain. Namun, meskipun tengah malam beliau baru datang, tetap saja beliau molang Kitab Tafsir meskipun hanya diikuti oleh satu atau dua orang santri saja.
Menurut beliau, dan ini kalimat yang sering beliau sampaikan, bahwa “Dengan istiqamah dan kesabaran, baja-pun mampu dilelehkan hanya dengan digenggam”.
Secara etimologis, istiqamah memiliki makna yang sama dengan kata ajek, ulet, konsisten, atau melakukan sesuatu dengan terus-menerus dan dilandasi dengan kesabaran. Dalam kamus ilmiah populer, istiqamah (dengan ditulis: istikomah) memiliki arti: teguh pendirian dalam memegang tauhid. Dari pengertian itu, kita ambil hal yang pokok, yaitu “pendirian teguh”. Istiqamah juga memiliki pengertian, melakukan sesuatu dengan rutin dan berkelanjutan.
Dari semua pengertian-pengertian tersebut, kita dapat memberikan satu kesimpulan, bahwa istiqamah adalah melakukan sesuatu dengan ajek, ulet, konsisten, terus-menerus, rutin dan berkelanjutan, serta teguh dalam pendirian dengan dilandasi kesabaran.
Banyak ayat serta hadits Nabi yang memuji perilaku istikomah, bahkan istikomah memiliki kebaikan melebihi dari seribu kekeramatan (al istiqamatu khairun min alfi al karamah). Sesuatu yang nilainya kecil apabila dilakukan dengan terus-menerus maka akan memiliki dampak yang amat besar. Sebagaimana kata pepatah “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”.
Kiyai Nawawi pernah mencontohkan, kata beliau, kita dapat menyaksikan perilaku semut. Mereka hewan kecil dan memiliki kekuatan yang juga kecil, namun karena mereka ulet dalam bekerja, rajin, serta melakukan semua pekerjaan dengan terus-menerus, maka sesuatu yang kecil tersebut menjadi besar. Mereka mampu membangun lubang, membangun jalan dari bekas injakan kaki-kakinya, menumpuk makanan, dan semua hasil dari pekerjaannya yang bernilai fantastis tersebut lahir dari sebuah keistikomahan.
Melakukan sesuatu dengan istikomah sangat dianjurkan dalam Islam. Idza kunta fi amrin kun kama shani’ (ketika kamu dalam satu urusan, maka lakukanlah terus-menerus apa yang bisa kamu lakukan). Gonta-ganti, apalagi malas-malasan adalah sesuatu yang hina. Pagi hitam sore putih, siang tahu malam tempe. Tidak konsisten, selalu berubah-ubah, plin-plan, labil, dan seperti tidak memiliki pendirian yang kokoh; adalah sebuah karakter yang tercela.
KH. Abdul Hamid, Pasuruan (guru Kiyai Nawawi) berkata: Hubbu al intiqal min alamati al konyol (suka berubah-ubah adalah salah satu tanda kekonyolan). Misal, kita belajar matematika mengenai bilangan pecahan, namun belum kita pahami kita malah pindah atau beralih belajar rumus bangun datar. Ketidak istiqamahan ini pada sebenarnya menjadi penyebab kita tidak pernah mampu. Sama halnya kita membangun sebuah rumah. Pondasi belum kelar, malah beralih mengerjakan dinding, dinding belum selesai, kita malah mengerjakan jendela, dan seterusnya. Maka dapat dipastikan rumah yang kita bangun tersebut tidak akan pernah selesai. Ini yang dimaksud dengan kekonyolan di atas.
Seseorang melakukan sesuatu yang biasa-biasa saja, namun dilakukan dengan terus-menerus (istiqamah), maka akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Seperti tetesan air hujan yang jatuh terus-menerus mengenai batu hitam yang besar dalam kisah Ibnu Hajar, pada akhirnya batu hitam besar tersebut menjadi berlubang. Habits (kebiasaan) bikin hebat. Begitu kata salah seorang tokoh.
Ada sebuah cerita, seorang pria melakukan pekerjaan, sebutlah memecah batu. Pada satu waktu, dia mendapati sebongkah batu besar sebesar tubuhnya. Dia berkata kepada temannya yang ada di sekitarnya, “Apakah anda bisa memecahkan batu ini?” Temannya tersebut menjawab, iya. Kemudian si teman itu mengambil pemukul lalu dipukulkan ke batu tersebut. Dipukul satu kali tidak pecah, dua sampai 99 kali tidak pecah. Akhirnya ia menyerah. Kemudian pria tersebut mengambil pemukul dan dipukulkan ke batu tersebut, dengan satu pukulan batu tersebut pecah. Pria tersebut berkata pada temannya itu, “Anda tadi memukulnya 99 kali pukulan, dan batu ini bisa pecah dengan 100 kali pukulan!”
Mungkin kita tidak memahami materi pelajaran dengan belajar selama setengah jam. Maka tentu kita belajar lagi, barangkali materi pelajaran tersebut dapat kita pahami jika belajar setengah jam lagi (menjadi satu jam). Untuk itulah, kita perlu belajar terus-menerus (rajin), istikomah membaca buku, istikomah belajar. Sebab, semuanya butuh proses yang lama. Tak ada yang tak bisa apabila kita berusaha dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Konon ada seorang pria yang mampu menebang pohon dengan sepotong jarum kecil. Sepotong jarum kecil mampu menebang satu pohon bukanlah sesuatu yang tidak mungkin (mustahil), kalau dilakukan dengan istikomah (terus-menerus). Setiap hari, saban waktu, dilakukan dengan sabar, dengan kebisaan, maka bukan sebuah mitos jika batang pohon besar terpenggal oleh sepotong jarum. Begitu Kiyai Nawawi bercerita pada satu kesempatan yang pernah penulis dengar.
Oleh: Holikin
*)Penulis adalah Guru UPTD SDN Pulau Mandangin 6 dan Alumni Ponpes Hidayatus-Salafiyah Pramian Sreseh Sampang.