SUMENEP – Pemerintah Kabupaten Sumenep belum pasang badan dalam menjaga permainan harga tembakau yang secara nyata ditentukan pemilik modal.
Kabid Perkebunan Dispertahutbun Sumenep
Abdul Hamid berdalih jika harga tembakau bergantung kualitas, bukan kompromi pemerintah dengan pengepul atau pedagang.
Alasan demikian sedikit menuai pro-kontra. Sebab bukan tidak bisa pemerintah memberi batasan nominal harga, apabila tembakau dinilai kualitasnya menurun.
Pengamat tataniaga Ali Zainal menyampaikan, patokan harga yang ditentukan pengepul cenderung masih tarik ulur. “Artinya harga yang ditetapkan pengepul masih cenderung berubah-ubah,” kata Ali, Selasa (11/9/2018).
Intensitas harga tersebut, kata Ali, membuat pengepul bersikukuh dengan menilai kualitas tembakau. Jika bagus nilai harganya tinggi. Begitu juga sebaliknya. Selama ini masyarakat hanya berpikir untungnya ketika memanen tembakau. Artinya, mereka optimistis jika panennya nanti akan dihargai tinggi.
“Namun ketika harga ini turun, maka saatnya pemerintah ikut campur memberi kebijakan kepada pengepul dengan batasan nominal harga,” ungkapnya.
Batasan nominal tersebut, sambung Ali, bergantung terhadap harga tertingginya tembakau. Bisa diturunkan 60 – 70 persen. Misalnya, harga tertinggi Rp 60 ribu perkilo, maka batasan harga nominalnya antara Rp 30 – 35 ribu. Batasan nomila ini bisa dilakukan dengan ketegasan pemerintah memberi aturan atau kebijakan secara insidentil kepada pengepul.
“Sebab jika ini tidak dilakukan, bisa jadi anjloknya harga tembakau cukup keterlaluan. Ada yang diharga Rp 10 ribu perkilo,” bebernya.
Saat harga tembakau turun, tentu membuat hati seorang petani lesu darah. Itu sebabnya, rangsangan untuk kembali memanen tembakau harus dipikir dua kali. Seperti yang dirasakan Halimi (49) petani asal Desa Prancak, Kecamatan Pasongsongan.
Menurut dia, harga tembakau di Kabupaten Sumenep belum jelas batasan harganya. Sebab meski dikabarkan harganya tinggi, namun tingginya angka tersebut tidak jelas.
“Harga Rp60 ribu bisa disebut tinggi, namun bisa jadi rendah bila harga itu berlaku satu atau dua tahun lagi,” terangnya.
Akan tetapi, Halimi belum memahami dengan jelas tembakau yang dianggap berkualitas. Sebab hitung-hitungan, perawatan tentu lebih paham pemanen. Walaupun penialain tersebut bukanlah menjadi keputusan final antara petani dan pengepul.
“Kami setuju jika pemerintah memberi batasan nominal harga tembakau. Sehingga petani permusimnya tetap memanen tembakau. Sebab bukanlah hal mustahil jika harga tembakau nanti turun drastis, banyak petani yang tidak memanen,” pungkasnya. (Tia)