Oleh: Holikin
Manusia menjadi berbeda dengan makhluk Tuhan lainnya lantaran ia memiliki kemampuan berfikir. Ia menjadi sempurna tatkala memanfaatkan daya berfikirnya ke jalan yang benar. Dari sana, manusia mendapatkan gelar ulu al albab (pemikir). Gelar ini Allah sematkan langsung kepada manusia yang legalitasnya disebutkan dalam Al-quran.
Dalam kajian anatomis dan fisiologis modern, manusia memiliki bagian-bagian tertentu dalam sistem syarafnya. Bagian yang paling penting tersebut berada dalam otak. Sebab di dalam otak terdapat ragam kawasan, di antaranya kawasan motoris, sensoris, visual, audiotoris, dan sebagainya yang semuanya termodifikasi dalam proses intelektual tinggi seperti membaca, menulis, berbicara, dan yang terpenting adalah berfikir.
Otak manusia memiliki puluhan milliar syaraf yang tersimpan rapi dalam tempurung kepala. Otak juga memiliki kemampuan merekam (recording) lebih dari enam juta byte informasi per-hari (Ubes, 2005; 5). Bayangkan, jika kemampuan besar tersebut tidak kita gunakan, atau kita gunakan hanya untuk menelan informasi sampah. Kerugian besar jelas tentu yang sedang menimpa.
Namun, invasi hoax (kabar dusta) begitu massif belakangan ini. Ia seolah sengaja diciptakan bukan oleh sembarang orang, namun tak sedikit juga datang dari dan disebarkan oleh para cerdik pandai. Hoax seolah menjadi kultur baru masyarakat jaman now.
Serangan hoax seperti apapun gencarnya dapat kiranya kita tangkis. Caranya, dengan membangun kultur berfikir positif. Kabar hoax tidak mungkin berkembang begitu saja, manakala kita mampu berfikir (tafakur) terlebih dahulu. Mencerna informasi dengan akal sehat adalah satu paradigma untuk menangkal jentik-jentik hoax tadi. Itulah sebabnya dikata, berfikir sejenak lebih baik dibanding ibadah setahun (tafakkaru sa’atan khairun min ibadati sanatin). Dengan berfikir berarti telah memusnahkan virus hoax, cikal bakal tersebarnya dosa ghibah (gosip). Disinilah satu nilai ibadah dapat kita petik dari budaya tafakur ini.
Nilai ibadah yang kedua yang dapat kita petik dari aktifitas berfikir (tafakur) adalah kemampuan memanfaatkan serta mengelola alam.
Allah menciptakan jagad raya ini berupa bahan mentah. Bahan mentah tersebut dapat kiranya manusia olah. Sumber daya alam (SDA) tersaji begitu melimpah di depan mata. Semua membutuhkan pemikiran keras dari manusia, membutuhkan kreasi serta karya inovasi. Makanya, Allah sebut manusia sebagai penggantiNya di muka bumi ini (khalifatan fi al ardl). Dalam arti lain, rusak tidaknya alam tergantung pengelolaan manusia, yang akibatnya manusia sendiri yang menanggungnya sendiri. Dengan berfikir keras, alam dapat kita manfaatkan dengan baik demi kelangsungan hidup manusia dan demi kesejahteraan bersama.
Nilai ibadah yang terakhir yang dapat kita ambil dari kultur tafakur adalah terjaganya tubuh dari ragam penyakit.
Adil Fathi Abdillah dalam bukunya Membangun Positive Thinking secara Islami menyebutkan, salah satu cara yang paling besar pengaruhnya dalam mengatasi penyakit kanker pada saat ini adalah penyembuhan melalui klinik-klinik kesehatan jiwa, dalam arti penanganan penyakit kanker dengan secara kejiwaan.
Adil menambahkan, cara penyembuhan penyakit dengan kejiwaan yang prosesnya banyak dilakukan dengan cara berfikir positif ini juga digunakan di Amerika Serikat saat ini, dan cara ini banyak membuahkan hasil yang menggembirakan. Disini maka kata bijak, “Sungguh hidup Anda merupakan cerminan dari cara berfikir Anda” menemukan titik korelasi.
Budaya berfikir perlu kiranya kita kembangkan di masing-masing individu. Sebab, ada banyak pekerjaan yang perlu kita garap melalui proses ini (tafakur). Disamping itu, bertafakur juga sangat kita butuhkan. Ia merupakan obat gratis bagi tubuh. Dengannya tubuh terhindar dari ragam penyakit. Terlebih lagi, dengan membangun kultur tafakur kita mampu mengubur hoax (yang belakangan ini banyak berseliweran di jagad maya) sebelum virusnya menyebar lebih luas. Semoga.
*)Penulis adalah Guru UPTD SDN Pulau Mandangin 6 dan Alumni Ponpes Hidayatus-Salafiyah Pramian Sreseh Sampang.