Berita

Suramadu Gratis, Pendapatan Kapal Mentok Rp 13 Juta

Img 20181115 Wa0029
IMG 20181115 WA0029

BANGKALAN – Pelabuhan Kamal tidak lagi menjadi jantung perekonomian masyarakat. Aktivitas induk transportasi laut di ujung Madura ini setiap hari kian surut. Itu sebabnya dampak penggratisan tarif tol Suramadu.

Keluh kesah tersebut hampir dirasakan semua kalangan. Baik sopir mobil pengangkut umum (MPU), pedagang asongan di sekitar pelabuhan, dan pengelola pelabuhan dalam hal ini angkutan sungai danau dan penyeberangan (ASDP).

Meski banyak kapal yang bersandar, kapal tersebut bukanlah kapal milik ASDP. Kapal swasta yang tengah diproyeksikan untuk pesanan perusahaan swasta dari luar Madura.

Setiap hari, kawasan ujung Kamal sepi aktivitas. Angkutan umum di jalur transportasi laut, hanya beroperasi 30 trip pulang pergi (PP). Dari 13 kapal, hanya tersisa 3 kapal. Per kapal 10 trip PP.

Kondisi demikian mempengaruhi terhadap pendapatan retiribusi pajak dari sektor perhubungan laut. Sebagaimana disampaikan Staf Keuangan dan Operasional ASDP Pelabuhan Kamal Halili.

Halili merasakan dampak pembangunan Jembatan Suramadu. Menurut dia, sebelum Suramadu beroperasi, per hari pendapatan kapal kurang lebih Rp 200 – 300 juta.

“Karena dulu masyarakat Madura tidak punya alternatif lain ketika hendak bepergian ke luar Madura, kecuali lewat jalur transportasi laut,” kata pria asal Kecamatan Blega itu, Kamis (15/11).

Setelah Jembatan Suramadu beroperasi ada dua kalkulasi pendapatan yang dicatat. Pertama pendapatan sebelum Suramadu gratis. Kedua setelah gratis secara total.

“Sebelum gratis, pendapatan kapal kisaran Rp 20 – 25 juta. Sekarang sudah tidak sebanyak itu, mentok pendapatan kapal Rp 13 juta,” ujar Halili.

Kemudian, dia mereka-reka koneksivitas minat masyarakat lewat jalur laut dengan darat melalui Suramadu. Apabila dipersentasikan peminat masyarakat yang lewat di jalur laut kisaran 20 persen. Itu berlaku bagi masyarakat Madura pada umumnya.

“Paling masyarakat yang lewat di sini, hanya segelintir masyarakat. Seperti warga Kecamatan Kamal, Socah, dan Kota Bangkalan. Kalau masyarakat Madura sampai ujung timur, mereka sudah tidak lewat pelabuhan. Mereka lebih memilih lewat akses darat (Jembatan Suramadu, red),” imbuhnya.

Meski demikian, Halili bersikukuh meningkatkan pelayanan. Menurunnya hasil pendapatan kapal akibat Suramadu dinilai bukan masalah yang terlalu vital. Dia memaklumi. Sebab setiap pembangunan yang dihadirkan pemerintah seperti dibangunnya jembatan yang menghubungkan Madura dan Jawa itu ada maksud tertentu.

“Walaupun di lain sisi, ada efek yang cukup berdampak terhadap perekonomian masyarakat,” ujarnya.

Perkembangan perekonomian di wilayah Kecamatan Kamal menurun drastis. Demikian dirasakan pelaku ekspedisi impor-ekspor properti, Wawan Wahyudi.

Pria asal Desa Banyuajuh, Kecamatan Kamal itu tidak lagi memiliki penghasilan tetap. Sebab tidak ada aktivitas truk perusahaan yang memilih lewat jalur pelabuhan kamal itu.

Dulu, sambung pria yang hobi memancing ini, ketika pelabuhan kamal beroperasi pesat, pihaknya selalu menerima pesanan menghantar barang ke luar Madura. Misalnya ke Gresik, Lamongan, dan Ketapang Banyuangi.

Di Madura, kata dia, lumbung penghasilan berada pada Garam. Pengusaha garam setiap kali memboking kapal, keuntungan yang diperoleh mencapai 20 – 30 persen. Hal tersebut bergantung dengan kontrak kesepakatan dan jalur tempuhnya.

“Sekarang mencari yang begitu sudah sulit. Pengusaha sudah terbantu dengan hadirnya Jembatan Suramadura. Apalagi sudah tidak dibebani tarif,” pungkasnya. (Tia)

Exit mobile version