Itu jawaban yang cukup membuat tertawa. Cukup dijadikan sebagai obat kesabaran ditengah kemiskinan. Memang itulah tugas rakyat, mesti wajib berkorban. Walapun sering dijadikan barang dagangan dalam merebut kemenangan. Tanda-tanda kemenangan adalah memegang kekuasaan.
Kembali ke cerita mantan pemilik sapi karapan. Karapan Sapi itu kompetisi. Kompetisi yang meletakkan kemenangan di atas segala-segalanya. Sehingga sang pengerap sapi menghalalkan segala cara. Karena jika menang, bisa menaikkan harga diri dan harga sapi. Tanpa peduli hadiah yang diberikan sebenarnya tidak pernah setimpal dengan besarnya biaya perawatan yang dikeluarkan. Akibatnya, sapi karapan hanya dimiliki oleh orang yang memilki banyak uang.
Demokrasi itu hakikatnya juga kompetisi, jika kemudian menghalalkan segala cara hanya untuk menang menangan lalu, Apa Bedanya Pilkada dengan Karapan Sapi? Bedanya di Pilkada Adu Suara, Di Karapan Sapi Adu Lari. Bedanya lagi, di Pilkada yang diadu sepasang orang, di Karapan sapi sepasang sapi.
Kesamaannya: Ikut dan memenangkan Pilkada dan Karapan Sapi butuh Modal Besar. Tanpa modal yang besar nyaris mustahil menang dalam pertarungan. Di Politik tidak ada makan siang yang gratis. Tanpa modal besar sulit untuk mendapatkan sapi karapan yang unggul, karena sapi karapan harganya memang mahal. Belum lagi biaya perawatan yang tinggi.
Pemilik Modal inilah sejatinya Penguasa Sepasang Sapi yang diadu di Karapan Sapi dan Penguasa Sepasang Orang yang diadu di Pilkada. Kemenangan di Pilkada dan karapan Sapi sesungguhnya Kemenangan Kekuatan Modal.
Modal besar yang telah dikeluarkan tentu penuh kompensasi. Di Karapan Sapi, jika sapi menang harga jualnya sangat tinggi. Para pemilik modal pun cukup terbayar dengan naiknya prestise, status sosial dan harga dirinya.