Opini

The Power Of Sarung Indonesia

Img 20181020 Wa0000
IMG 20181020 WA0000

Oleh: Faisol Ramdhoni*

Berbicara hari Santri sesungguhnya tidak bisa untuk tidak mengupas tentang sarung. Sebab sarung bagi seorang santri di pesantren sudah lengket kayak perangko. Dalam menjalankan aktivitas keseharian di pesantren, seorang santri tidak pernah lepas dari sarung. Mulai dari beribadah, ngaji, mandi, main bola sampai tidur sekalipun.

Sarung itu pula yang konon membuat Clifford Geertz Seorang antropolog asal Amerika, dalam bukunya yang berjudul Religion of Java mengatakan bahwasanya ada tiga pembagian penduduk Indonesia, khususnya di Jawa. Antara lain pertama kaum abangan, kedua kaum priyayi, dan ketiga kaum santri

Apalagi dulu para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah.Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung. Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU).

Suatu ketika, Abdul Wahab pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kyai Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.

Menurut catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman. Di negeri itu sarung biasa disebut futah. Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar atau ma’awis. Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan nama wizaar. Orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar.

Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa. Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat. Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam.

Menariknya, meskipun dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam. Namun di Indonesia, pemakaian sarung tak menunjuk pada identitas agama dan suku tertentu. Karena sarung juga digunakan oleh berbagai kalangan di berbagai suku yang ada.
Sarung di Indonesia berkarakter egalite dan toleran. Sarung di Indonesia bahkan menampilkan keunikan, kekayaan kultur serta keragamannya. Baik itu dari bahan, motif maupun pemakaiannya. Inilah The Power of Sarung Indonesia!.
Sarung Indonesia berbeda dengan sarung negara lain. Sarung Indonesia terbuat dari kain tenun, songket, dan tapis. Masing-masing jenis bahan sarung tersebut berasal dari daerah yang berbeda di Indonesia.

Bahan yang terbuat dari tenun, lebih dikenal berasal dari area Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Bali. Sedangkan songket, sangat identik dengan ciri khas adat Minangkabau dan Palembang. Sementara tapis, kita mengenal bahan ini berasal dari Lampung.

Sarung tradisional tidak bermotif kotak-kotak. Sarung yang terbuat dari tenun, diciptakan paling sederhana. Cenderung lebih bermain warna, dibanding motif yang ‘ramai’.

Sedangkan tapis dan songket, sekilas akan terlihat sama. Hanya, motif tapis memiliki unsur alam, seperti flora dan fauna. Sedangkan motif songket, terlihat lebih meriah dengan motif yang mengisi seluruh isi bahan. Ada kesamaan diantara tapis dan songket, yaitu keduanya terbuat dari benang emas dan perak.

Bedanya lagi, di dunia Arab, sarung bukanlah pakaian yang diidentikkan untuk melakukan ibadah seperti sholat. Bahkan di Mesir sarung dianggap tidak pantas dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri acara-acara formal dan penting lainnya. Di Mesir, sarung berfungsi sebagai baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur.

Kebalikannya di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Tak heran jika sebagian masyarakat Indonesia sering mengenakan sarung untuk sholat di masjid. Laki-laki mengenakan atasan baju koko dan bawahan sarung untuk sholat, begitu pula wanita mengenakan atasan mukena dan bawahan sarung untuk sholat. Bahkan Sarung di Indonesia juga tidak bisa diklaim hanya milik orang Islam saja. Karena orang Hindu Bali sering memakai sarung untuk mengikuti kegiatan keagamaan. Meskipun sarung yang dipakai mempunyai corak dan motif berbeda.

Tidak hanya itu, bagi orang Madura, terlebih yang tinggal di desa, sarung memang menjadi pakaian yang serbaguna. Pada saat musim hujan, sarung bisa dijadikan selimut. Sarung dapat menutupi bagian kaki hingga kepala, karena mereka saat tidur setengah melingkar seperti udang. Kemudian pada saat musim kemarau, sarung digunakan dengan sangat longgar sehingga udara bisa masuk ke sela-sela badan si pengguna. Sarung juga dipakai pergi ke sawah karena dapat digulung, sehingga lutut tidak akan kotor karena terkena percikan lumpur. Kemudian sarung dipakai untuk jalan-jalan karena bisa dijadikan alat ibadah di tengah perjalanan.

Di masyarakat Madura, sarung juga biasa digunakan untuk beberapa acara keagamaan, seperti tahlilan, sholawat, Maulid Nabi, ziarah, dan masih banyak lainnya. Laki-laki di Madura dianggap lebih sopan pada saat menggunakan sarung daripada saat memakai celana. Mereka akan dianggap lebih menghargai tuan rumah yang mengundang.

Di Masyarakat Bugis, tradisi menggunakan sarung juga diberlakukan untuk tamu. Apabila ingin menginap, maka tamu akan disodori 3 lembar sarung. Ketiganya memiliki perbedaan, baik dari segi bahan, ukuran dan fungsi, yaitu sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung tidur (lipa’ tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan dominan benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya.

Sarung mandi (lipa’ cemme) memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna tersebut merupakan efek dari seringnya dibasahi atau dicuci, setiap kali dipakai mandi. Sarung shalat (lipa’ Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang berbeda. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bisa juga menggunakan sarung pabrikan, tetapi yang relatif baru.

Pun begitu dengan pemakian sarung oleh suku Tengger. Bagi suku Tengger tak menggunakan sarung maka akan menjadi bahan pergunjingan. Sarung digunakan baik dalam upacara adat, keagamaan ataupun aktivitas sehari-hari. Bahkan bagi suku tengger sarung dipercaya sebagai penjaga keselamatan.

Selain berdasarkan fungsinya, penggunaan sarung di suku tengger memiliki ragam variasi serta berdasarkan aktivitas dan jenis kelamin. Sarung berbentuk Lampin biasa dipakai seorang lelaki ketika bekerja keras.

Bagi kaum perempuan Suku Tengger, sarung berfungsi sebagai penanda status. Ada yang menandakan perempuan lajang, menikah, juga janda. Jika ada perempuan tengger yang melilitkan sarung dengan ikatan simpul tepat di depan dada, membiarkan dua sisi kain terbelah di tengah dengan bagian lain menutupi bahu hingga tergerai sampai punggung, itu pertanda sudah menikah.

Perempuan lain mengikat simpul dan meletakkannya di sisi bagian kanan. Kedua bagian kain itu membelah di pundak yang menjuntai hingga tumit. Posisi ini menunjukkan mereka adalah gadis yang siap menikah.

Pola lain dengan letak berseberangan atau tersimpul di pundak kiri memiliki makna berlainan. Konon, perempuan pemakai sarung yang bersimpul di sisi kiri ialah janda, entah janda cerai atau janda ditinggal wafat.

Dengan demikian, dari cerita di atas, bisa dikatakan bahwa kekuatan sarung di Indonesia tidak saja mampu tampil sebagai simbol kebudayaan. Namun juga telah menjelma sebagai simbol perjuangan dalam upaya merebut kemerdekaan di negeri ini. Selamat Merayakan Hari Santri, Kaum Sarungan Indonesia!

*Ketua Lakpesdam NU Sampang

Exit mobile version