tutup
ght="300">
Opini

Jack, Plato dan Media Sosial

×

Jack, Plato dan Media Sosial

Sebarkan artikel ini
Img 20181125 Wa0003
IMG 20181125 WA0003

Oleh: Faisol Ramdhoni

“Ada room, kemudian luar angkasa, dengan semua planet seperti yang ditampilkan TV, lalu ada surga,” demikian konsep tentang dunia dalam penuturan Jack di salah satu adegan Film Room.

Film yang disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik di tahun 2015 ini diangkat dari novel berjudul sama karangan Emma Donoghue. Film itu bercerita tentang kehidupan ibu dan anaknya yang berusia 5 tahun dalam sebuah ruangan (The Room). Ruangan disini lebih tepatnya adalah seperti gudang kecil di pekarangan rumah, yang berukuran sekitar 4 x 4 meter. Hidup di gudang? Ya, si ibu atau panggilannya “Ma” dan bernama Joy Newsome (Brie Larson) adalah korban penculikan dan penyekapan Nick (Sean Bridgers) saat umurnya 17 tahun. Tujuh tahun berlalu, kini Ma telah mempunyai seorang anak laki-laki, Jack Newsome (Jacob Tremblay), berumur 5 tahun.

Jack yang sejak lahir tidak pernah melihat dunia luar, membuatnya berpikir kalau dunia nyata hanyalah seluas kamar. Begitu juga dengan si ibu, kerena keputusasaannya untuk bisa melarikan diri dan dia tak mau memberikan harapan ke pada anaknya, dia selalu menanamkan bahwa ruangan itu lah dunia mereka. Sebuah ranjang, lemari, bathtub, mini kitchen, wastafel, meja makan, dan televisi, berarti lebih untuk mereka, terutama untuk Jack.

Tak hanya sebagai sebuah barang, Jack pun menjadikan benda-benda di ruangan itu sebagai alat dan tempat bermain, bahkan sudah menganggap benda-benda itu sebagai teman. Sinar matahari pun menjadi sangat berarti untuk mereka, karena satu-satunya cara untuk melihat langit dan matahari adalah dari sekotak kaca di atap ruangan mereka. Sehingga nyaris pengetahuan Jack tentang dunia nyata hanya di dapat dari penuturan Ma dan televisi yang di kamar.

Meski diproduksi tahun 2015, namun hingga saat ini film Room itu masih dikenang sebagai karya sinema yang sukses menyajikan visualisasi pemikiran Plato mengenai realitas: Perumpamaan Gua Plato. Dalam Politeia (di Indonesia terbit dengan judul Republik), Plato bercerita mengenai persepsi dan realitas yang ditangkap manusia.

Plato berkisah mengenai sejumlah orang yang dirantai dan dihadapkan pada sebuah tembok di dalam gua. Para tahanan itu membelakangi cahaya dari api unggun, sehingga bayangan yang dipantulkan terproyeksi pada tembok di hadapan mereka. Mereka hanya mengenal realitas sebatas bayangan yang dihasilkan. Ada yang pasrah dan menerima bahwa bayangan yang ditampilkan itu sebagai realitas. Padahal itu persepsi semata.
Ada juga yang tidak puas, hingga pada akhirnya ada salah satu tahanan yang “bebas” dan melihat bahwa persepsi yang ditampilkan itu berbeda dengan realitas. Kebebasan itu sayangnya tidak dapat dinikmati secara nyaman. Realitas ternyata serupa sumber cahaya yang memproyeksikan bayangan: menyilaukan.

Baca juga  The Power Of Sarung Indonesia

Bisa jadi, alasan itu juga yang membuat Ma takut menanamkan ke benak Jack kecil bahwa dunia sebenarnya menyajikan hal yang lebih luas, lebih nyata, lebih beragam, dari sekedar yang didapatnya di “room”. Mungkin juga ada kekhawatiran Ma bahwa Jack menginginkan adanya realitas yang tidak akan pernah dilihatnya secara langsung, meskipun sekedar ingin melihat tupai dan anjing. Realitas, sepertinya dianggap sama seperti harapan. Menyakitkan!

Cerita si Jack dan Gua Plato bisa menjadi menjadi pengantar bagi kita dalam memahami fenomena yang terjadi di media sosial. Fenomena medsos yang telah melahirkan dua kelompok manusia, yaitu kelompok pecinta (lovers)dan pembenci (haters). Dua kelompok ini kadang berbenturan secara keras, perang kata-kata, psy war, sehingga menimbulkan dampak yang tidak baik.

Kelompok Lovers akan memuji dan membela mati-matian sang teman atau tokoh pujaannya, sedangkan haters akan terus menyerang, mengkritik, nyinyir, berkata-kata pedas, melakukan kekerasan verbal kepada sosok yang tidak disukainya. Lovers akan mendukung, dan membela kekurangan sosok yang disukainya, serta membesarkan hati sosok yang disukainya ketika terkena musibah. Kalau pun memberikan kritik, disampaikan secara santun.

Sebaliknya, bagi haters, akan menjadikan kekurangan atau kesalahan sosok yang dibencinya sebagai senjata untuk menyerang. Bahkan ada kalanya, sang haters mencari-cari kekurangan lawannya di masa lampau untuk diblow-up, diviralkan, digunakan untuk membunuh karakter sang musuh.

Pilihan Like dan Comments di media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, dan Twitter, dapat menjadi pembuka pintu bagi siapapun untuk menyatakan perasaan suka atau kebencian terhadap seseorang atau peristiwa. Ungkapan bahasa kemarahan dan kebencian kadang diungkapkan tanpa mempertimbangkan masalah etika. Kesantunan sebagai etika di dalam berinteraksi melalui media sosial sepertinya hilang ketika diungkapkan ke dalam “mesin kata dan bicara” berupa alat komunikasi personal (handphone/telepon genggam) yang tidak memiliki hati sehingga bahasa emosi ikut larut tanpa pembatas nilai etika sosial di dalamnya.

Baca juga  Rela Berangkat Swadaya, Perjuangan Persam Menembus Juara Piala Menpora 2023

Hal itu saat ini sudah banyak terjadi di media sosial. Banyak orang yang awalnya berkawan baik, ketika menjadi musuh, maka saling bongkar aib, kekurangan, dan kesalahan mantan temannya tersebut. Media sosial telah menjadi ruang berkembangnya entitas bisnis baru: Bisnis E-Hate; bisnis kebencian; salah satu sisi kelam dunia digital yang tumbuh subur berkat ilusi keintiman.

Kenapa ilusi? Karena obyek yang dipuja maupun yang dihujat belum tentu peduli dengan adanya hater atau lover, tapi baik hater ataupun lover sudah merasa intim, merasa paling tahu, paling benar dan paling mengerti tentang suatu obyek dengan berbagai pembenaran yang dicari-cari sendiri, kemudian hater dan lover sama-sama merasa memegang kebenaran absolut dan memaki ‘yang seberang’ hal itu yang membuat perang semakin runcing ketika melihat sesuatu secara tidak seutuhnya.

Jadi, pada hakikatnya masing-masing, kebanyakan hater ataupun lovers sebenarnya sama-sama sedang memuja kerang ajaib milik mereka masing-masing. Sebuah kerang yang tetap saja sebuah kerang yang dibatasi cangkang. Tapi baik hater ataupun lover tentu saja bertindak atas subyektivitas-nya masing-masing dan tidak peduli. Yang Penting puja kerang ajaib! Meski kerang tersebut tidak seajaib yang dikira.

Untuk itu, fenomena keberadaan lovers dan haters di medsos ini harus disikapi secara bijak dan dewasa. Jangan terlena oleh puja-puji para lovers, karena menyebabkan mabuk pujian, gila hormat, dan kurang menyadari kekurangan diri. Ibaratnya, karena sedang jatuh cinta, segala sesuatu terlihat indah. Dan jangan mudah terpancing emosi mana kala ada haters yang terus menyerang. Lebih baik abaikan, tidak terpancing emosi, atau balik menyerang agar masalah tidak berkepanjangan, tidak buang-buang tenaga dan pikiran.

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib pernah memberikan nasihat dan layak untuk dijadikan pegangan “Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja, siapa tahu pada suatu hari kelak ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja siapa tahu pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang kau cintai“.

*Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Sampang