 
             Publiser
									
								
							
							
							
								Maret 30, 2019 11:24 11:24
								.
								5 min read
									Publiser
									
								
							
							
							
								Maret 30, 2019 11:24 11:24
								.
								5 min read
							
						 
						Semenjak masa Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645), tahun hijriah yang diawali dengan bulan Muharam juga disebut sebagai bulan Sura. Sultan Agung memadukan kalender Hijriah yang dipakai di pesisir utara dengan kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman, menghasilkan kalender Jawa-Islam.
Menilik dasar perhitungannya, kalender Saka mengacu pada sistem solar atau matahari. Sementara itu, kalender Jawa yang dibuat Sultan Agung berdasarkan lunar atau sistem bulan seperti sistem kalender Hijriah. Kedua sistem perhitungan solar dan lunar berbeda, sehingga tindakan Sultan Agung dianggap revolusioner. Ini salah satu upaya mempersatukan masyarakat Jawa pada masa itu.
Saking istimewanya, mulai saat itu, perayaan suro dan Muharram dirayakan bersamaan. Masyarakat Jawa pun mulai ramai dengan ragam acara dan tradisi. Hingga saat ini, bagi sebagian orang Jawa malam suro masih dianggap malam keramat. Selain menjalankan tradisi ritual memperdalam kekuatan tubuh atau ilmu kebatinan, biasanya juga dilakukan ritual ‘ngumbah gaman’ dengan tujuan agar aura magis dalam pusaka tersebut semakin kuat.
Termasuk, Kyai Jonggol, lelaki tua keturunan Jawa-Madura ini salah satu pelestari tradisi “ngumbah gaman” tersebut. Hidup dalam lingkungan jawa sejak lahir membuatnya tidak bisa lepas dari tradisi yang diwariskan leluhur. Darah Madura yang dikenal sangat kental dengan keislamannya mengalir di dirinya dari jalur Ibu. Sehingga Kyai Jonggol disebut oleh sejumlah warga kampung sebagai Kyai Islam Kejawen.
Kyai Jonggol adalah imam sholat lima waktu di musholla tua yang letaknya di tengah kampung. Ia jarang sekali absen untuk mempimpin sholat jamaah kecuali sakit mendera tubuhnya yang ceking. Bacaan Al Qurannya yang sangat merdu dan terdengar fasih membuat warga merasa betah dan senang berjamaah. Waktu siang selepas sholat dhuhur, Kyai Jonggol tidak segera turun dari Musholla. Ia rutin mengajari anak-anak kampung ilmu diniyah/agama hingga jam setengah lima sore. Barulah ia pulang bersama kepulangan anak-anak ke rumahnya masing-masing.
Bila maghrib telah tiba, Kyai Jonggol sudah berada di Musholla. Menunggu warga dan anak-anak yang hendak menunaikan sholat maghrib berjamaah. Sampai tiba waktu Isyak, Kyai Jonggol rutin ajari anak-anak mengaji lengkap dengan tajwidnya. Barulah setelah sholat isyak usai, ia kembali lagi ke rumahnya hingga shubuh nanti.
Pulang ke rumah, bukan berarti kyai Jonggol bisa langsung beristirahat. Tamu-tamu yang datang baik dari dalam kampung hingga luar kampung sudah lama mengantri. Mereka datang dengan aneka keperluan. Mulai konsultasi soal agama, minta ajimat, bertanya soal jodoh hingga mantra yang besentuhan dengan hal-hal yang mistik dan ghaib.
Akibatnya julukan Kyai Islam Kejawen semakin kuat melekat pada dirinya. Apalagi Kyai Jonggol juga dikenal sebagai Empunya dalam melakukan Jamasan (Ngumbah) Pusaka. Jamasan dari kata jamas yang artinya cuci, membersihkan, mandi. Jamas adalah bahasa Jawa kromo inggil (tingkatan paling tinggi/halus), sementara bahasa ngoko-nya (paling kasar) adalah kumbah. Sehingga, jamasan bisa diartikan sebagai kegiatan mencuci, membersihkan, atau memandikan. atau ngumba.
Pusaka terutama keris hasil umbahan Kyai Joggol sungguh memikat. Keris akan keliatan lebih bersih, pamornya semakin nampak keliatan dan auranya semakin memancar. Ikhwal itulah yang membuat nama Kyai Jonggol terkenal hingga ke luar kampung. Bahkan banyak pejabat dari Jakarta yang datang secara khusus hanya untuk me-ngumbah kerisnya.
Berbeda dengan ahli ngumbah keris lainnya, Kyai Jonggol punya cara dan ritual sendiri. Ritual itu ditempatkannya di Musholla, tempat ia biasa melakukan ibadah dan mengajar agama. Ia hanya mau melakukannya di malam satu suro atau muharram. Para pemilik keris harus datang sendiri tidak boleh menyuruh orang. Ngumbah Keris pun harus dilakukan secara bersama-sama tidak melayani orang per orang secara bergantian.
Jika ingin kerisnya lebih bersih, Kyai Jonggol mensyaratkan agar puasa sehari sebelum satu suro dan tepat di satu suro. Bila tidak kuat berpuasa, bukanlah masalah namun konsekuensinya pancaran keris akan biasa-biasa saja. Namun ada syarat wajib yang tidak boleh dilanggar yakni datang sebelum tengah malam dengan berpakaian yang bersih dan suci.
Praktis, bila malam suro tiba,di dalam maupun di halaman Musholla akan sesak oleh orang- orang yang memegang keris. Mereka duduk bersila dengan rapi menghadap ke arah kyai Jonggol berada. Sementara di sekitar arena ritual, sebagian warga kampung sedang ramai berjualan. Mulai dari berdagang minuman, kue hingga aksesoris khas kampung itu. Jadilah malam suro di kampung Kyai Jonggol menjadi malam yang mistis, agamis sekaligus ekonomis.
Menjelang tengah malam, acara ritual ngumbah keris dimulai. Kyai Jonggol meminta kepada seluruh yang berkepentingan untuk segera mengambil wudhu’. Berniat membersihkan diri dari segenap pikiran dan niat kotor. Sebab baginya, sebilah keris itu dibuat oleh tangan manusia sendiri. Tentu akan menjadi sebuah lelucon jika sang pembuatnya belum bersih mau membersihkan yang kotor. Ibarat hendak menyapu lantai yang kotor maka sapunya harus bersih. Seperti mau mencuci piring yang kotor maka tangan haruslah bersih, jika tangan masih kotor maka dicuci dengan cara apapun piring itu akan tetap tidak akan bersih.
Lalu, setelah selesai berwudhu’, ia meminta semuanya untuk kembali duduk bersila sambil menundukkan kepala. Sejurus kemudian, ia meminta semuanya memejamkan mata ,menundukkan hati dan memasrahkan diri diri pada kuasa sang Maha Pencipta,Maha Pembersih dan Maha Pembuka aura.
Suasana pun hening, hanya terdengar suara Kyai Jonggol dari pengeras suara. Lembut nan merdu melantunkan tembang berisi syair sejarah dan makna dari sebilah keris. Tembang yang disarikan dari ajaran Serat Pustakaraja Purwa. Dalam serat tersebut tertulis, keris untuk pertama kalinya dibuat di Tanah Jawa pada tahun Anembah-Warastraning-Rat, yakni tahun Jawa 152 atau 230 Masehi. Keris tersebut dibuat di Kerajaan Medhangkamulan pada masa pemerintahan Mahadewa Buda.
Keris dimaknai sebagai simbol kesatuan dari manunggaling kawula-gusti, yang diungkap dengan pernyataan “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”. Artinya keris masuk dalam warangka dan warangka masuk dalam keris. Pada tataran spiritual menggambarkan kembalinya roh manusia pada Sanghyang Sangkan Paran sebagai asal mula.
Atma (roh) di dalam diri manusia disebut jiwatman, yang menyebabkan manusia dan seluruh mahluk (Sarwa Prani) menjadi hidup. Atman disebut juga hidupnya hidup. Atman identik dengan Tuhan itu sendiri “Brahman Atman Aikyam” sehingga karakternya digambarkan sama. Ia bersifat sempurna, kekal, dan selalu berbahagia (anandam) yang merupakan roh semesta. Apabila atman terus menerus larut dalam kesenangan indriya yang makin lama makin mengikatnya dan terus mengikuti nafsu birahinya tanpa menyadari jati dirinya (Atma). Maka Ia akan terus berputar antara sorga dan neraka seperti cakra gilingan.
Untuk itulah, dalam tembang yang dilantunkan, Kyai Jonggol mengatakan bahwa sejatinya ngumbah keris itu tak lain adalah ajakan untuk membersihkan roh manusia. Agar roh manusia tidak terpenjara oleh belenggu duniawi. Sikap iri,dengki,serakah, dan sombong harus dibersihkan dari hati manusia. Kesenangan di dunia hanyalah bersifat sementara dan fatamorgana pembuat derita.Untuk itu Manusia haruslah bersih,harus merdeka lepas dari penderitaan akibat jeratan tipu dunia yang panjang dan menyesatkan. Caranya “ Keris” (roh/hati) harus selalu diumbah dan dibersihkan, salah satunya dengan jalan perbanyak dzikir dan lelaku spiritual lainnya.
Sampai di sini, Kyai Jonggol lalu mengajak semua yang hadir untuk memegang erat kerisnya dalam kondisi diam tanpa bicara. Menghadirkan hatinya, sampai ia merasa bahwa Allah senantiasa melihatnya dan ia sedang berada di depan-Nya. Memusatkan semua inderawi sekiranya tidak ada satu bulu rambut pun yang bergerak, seperti kondisi seekor kucing yang mau menerkam seekor tikus dan menghilangkan semua bisikan diri dan mengalirkan makna Allah, Allah pada hati.
Bersamaan dengan itu, ia menuntun para pemegang keris untuk mendzikirkan kalimah “La Ilaha Illallah” secara keras dan lembut. Di baca pelan dalam tujuh tekanan atau tujuh pernafasan sambil diresapi betul di setiap tekanannya. Agar energi semesta benar-benar bisa terasa kemudian mengalir melalui tubuh hingga ke tangan yang sedang erat memegang keris.
Rupanya tujuh tekanan dzikir itu sebagai pengganti dari kembang tujuh rupa yang biasanya direndam dalam air jamasan dalam ritual ngumbah keris. Sedangkan air yang dimaksud tidak lain adalah tubuh kita sendiri. Kita ketahui bersama, bahwa sekitar delapan puluh persen dalam tubuh manusia itu terdiri dari air. Bahkan ada bagian dari tubuh manusia yang memiliki kadar lebih dari itu yakni otak dan darah. Itulah mengapa banyak didengar kisah manusia tersambar petir dan tersengat listrik. Sebab, air yang didalam tubuh manusia merupakan penghantar energi listrik yang baik.
Saat mau mengakhiri acara ritual, Kyai Jonggol kembali mengeluarkan wejangan. Bahwa Pamor Keris yang sering dicari orang karena keindahan dan khasiatnya pada hakikatnya adalah perilaku dan akhlak manusia itu sendiri. Semakin mulia dan indah perilaku serta akhlak manusia maka akan semakin dicari dan disukai orang. Bersumber dari itulah pancaran aura/yoni/energi akan terang dan berkhasiat pengasih,kewibaan, pelindung dan penjaga keselamatan sebagaimana khasiat keris-keris yang ramai hendak dimandikan pada malam satu suro.
Selamat Ngumbah Keris, Selamat Satu Suro!
Oleh; Faisol Ramdhoni*
*Penulis adalah Penggiat Sosial Media, dan Ketua Lakpesdam NU Sampang.