BANGKALAN – Suramadu gratis, tidak hanya berdampak melemahnya perekonomian Ujung-Kamal, malainkan kolega perusahaan PT. Angkutan Sungai Danau dan Penyebarangan (ASDP) di luar Madura ikut menurun. Seperti Gresik, Lamongan, dan Ketapanng Banyuwangi.
Staf Keuangan dan Operasional Kapal PT. ASDP Halili menyampaikan turunnya pendapatan kapal tidak hanya dirasakan pelabuhan Ujung-Kamal. Di luar Madura juga merasakan demikian. Sebab PT ASDP tidak hanya di Madura, melainkan juga berinduk di daerah lain.
Bahkan, kata Halili, beberapa hari lalu sempat membahas intensitas pendapatan kapal. Seperti pelabuhan Gresik dan Lamongan menurun sekitar 15-20 persen. Dengan begitu, Halili menyimpulkan warga Madura yang berkepentingan ke Gresik dan Lamongan mulai berkurang yang melewati jalur laut.
Rendahnya minat masyarakat lewat di jalur laut, membuat pihaknya dilematis, yakni antara ditutup dan tidak beroperasi atau dibiarkan tanpa ada penumpang yang ikut. Hal tersebut menjadi tugas rumah perusahaan. Perkara ditutup paksa, dinilai bukanlah hal mudah.
“Terus kalau di sini ditutup, bagaimana dengan induk pelabuhan lain yang juga berada di bawah PT. ASDP. Mereka juga butuh koordinasi lintas ujung di setiap daerah,” katanya, Rabu (21/11).
Namun dia memastikan, separah-parahnya keadaan, pelabuhan Ujung-Kamal akan tetap beroperasi. Sebab pelabuhan Ujung-Kamal sudah tergolong memiliki hak secara izin operasi pelayaran nasional.
Sebelumnya, Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan dengan dibebaskannya Pelabuhan Kamal bakal terancam tutup. Menurut Pakde Karwo, sapaan akrabnya, hal tersebut sesuatu yang wajar karena masyarakat pasti akan lebih memilih menggunakan Jembatan Suramadu karena lebih efisien baik waktu maupun biaya.
Orang nomor satu di Jatim ini menyebut fenomena ini merupakan disruption yaitu sebuah pola dimana akan ada pergeseran pilihan yang lebih baik dan meninggalkan yang lama.
Menurut Pakde Karwo, disruption atau disrupsi selalu membawa dampak pada beberapa sektor. Namun, jika hasilnya lebih efisien, Pakde Karwo mengaku tak masalah. “Jadi perubahan baru mesti membawa korban, tapi hasilnya efisien. 50 persen lebih dari perubahan itu disrupsi, ya sudah itu jawabannya,” pungkasnya. (tia)