Tidak diketahui pastinya, berapakah batasan-batasan usia seseorang dapat diidentifikasi sebagai pemuda? Sebagian tokoh ulama hanya memberikan batasan usia seseorang yang dapat diidentifikasi sebagai lanjut usia, tua (syaikh), yaitu “Man jawaza umruhu arbaina sanah (orang tua adalah seseorang yang umurnya melampaui 40 tahun).
Dari sana, maka kita dapat menarik mafhum mukhalafah (logika terbalik), bahwa seorang pemuda adalah seseorang yang segi usianya di bawah 40 tahun.
Dalam terminologi adolescentia (berasal dari bahasa Latin yang berarti masa muda), disebut sebagai pemuda disebabkan adanya perubahan fisik dan psikis sekaligus, yang tercepat antara usia 12-22 tahun (Sunarto, 2002: 55).
Dalam pandangan masyarakat umum, pemuda dapat dipahami dari kuatnya tubuh seorang anak melakukan pekerjaan seperti orang tuanya, berkisar pada usia 16-17 tahun (Zakiah, 1995: 9).
Pada dasarnya, seorang pemuda merupakan sosok yang semangatnya tak pernah kendor. Manusia yang spiritnya tak pernah lapuk.
Sosok sebagaimana kata penyair Arab, “Al fata man yaqulu ha ana dza” (yang mengandalkan dirinya sendiri), bukan yang mengandalkan orang lain (laisa al fata man yaqulu kana abi).
Sosok seorang pemuda adalah yang berani mengatakan “Inilah saya!”, bukan sosok yang dengan bangga bersembunyi di belakang orang lain sembari bersuara lantang, “Saya lahir dari keturunan ini, dilahirkan dari trah bangsawan, dan sebagainya!”. Sayyidina Ali (karramallahu wajhahu) contohnya.
Beliau sangat pemberani, kecerdasannya luar biasa, seorang pemuda yang mendapatkan legalitas keilmuan dari Nabi SAW langsung, “Ana madinatu al ilmi wa aliyyu babuha” (akulah kota ilmu dan Ali pintunya). Siapa yang tak kenal sosok Ali (karramallahu wajhahu)? Sosok pemuda yang pertama kali mengimani risalah Nabi SAW ketika yang lain terbuai oleh budaya jahiliyah, sehingga komentar orang-orang Arab akan diri beliau menjadi yel-yel pemuda masa itu, “Laa fata illa aliy” (tidak ada seorang pemuda kecuali Ali).