tutup
Opini

Darah dan Kehormatan : Bagaimana Psikologi Memandang Tradisi Carok di Pulau Madura

×

Darah dan Kehormatan : Bagaimana Psikologi Memandang Tradisi Carok di Pulau Madura

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Orang Madura
Ilustrasi orang madura
Penulis : M. Fikran Pandya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan Psikologi

“Engko’ la mantep, engko’ ngocak de’ tang tretan, engko’ mateh sateah odik sateah uwes jek lang-lang male engko’ tekkah hajat. Leggi’ mun engko’ mateh kakeh acarok kiah.”
(Sebelum melakukan carok perasaan saya sudah mantap, saya sudah siap, yang penting sudah tidak menanggung malu lagi, jangan halangi saya tapi nanti kalau saya kalah kamu acarok juga),” ungkap salah satu informan pelaku Carok dalam penelitiannya Aziz dkk pada tahun 2020.

Terbayang dengan gaya bahasa seperti itu, tidak lepas dari stereotipe negatif masyarakat yang keras, garang, bahkan kejam yaitu Madura. Hal itu acap kali diungkap oleh peneliti asal Belanda, Huub de Jonge, mendeskripsikan Madura dalam perspektif antropologis dengan pelbagai manifestasi sosial-budayanya yang rentan akan ketegangan dan kekerasan sehingga sering menyebabkan singgungan fisik yang diidentikkan dengan sebutan ”carok”, oleh orang Madura. Hingga sampai sekarang ini, telah banyak korban tradisi carok yang berjatuhan luka-luka, bahkan sampai merenggut nyawa.

Img 20240409 Wa0073 Darah Dan Kehormatan : Bagaimana Psikologi Memandang Tradisi Carok Di Pulau Madura

Kalau ditinjau dari perspektif sejarah, carok sendiri dimaknai dari bahasa Madura, yang berarti bertarung dengan kehormatan. Jadi, hampir semua kasus carok sering bersumber dari rasa malu (harga diri) yang dilecehkan oleh orang lain. Hal itu selaras dengan pendapat Abraham Maslow (Pakar Psikologi Kepribadian), terkait teori kebutuhan bahwa kebutuhan penghargaan sering kali diselimuti frustasi dan konflik pribadi, karena yang diimpikan orang bukan saja perhatian dan validasi dari kelompoknya, namun juga status kehormatan yang memerlukan standar moral, sosial dan agama.

Baca juga  Berburu Angpao Imlek 2019 di Pecinan Madura Kuy!

Senada dengan itu, pakar Psikologi Sosial dari Amerika, yakni Berkowitz & Feshbach, memaparkan bahwa kondisi eksternal (seperti: pelecehan harga diri bagi orang Madura) meningkatkan motif keinginan yang kuat untuk menyakiti orang lain. Sigmund Freud (pakar Psikoanalitis dari Jerman) juga dalam teori dasar perilaku terkait instink yang bertempat dalam alam bawah sadar. Dimana ada dua jenis instink atau naluri yaitu eros (naluri untuk mempertahankan kehidupan) dan instink tanatos (naluri kematian, untuk menghancurkan yang ada pada setiap manusia, seperti perkelahian, pembunuhan, perang dan sebagainya), alhasil jika dilihat dari teorinya Freud, perilaku carok pada masyarakat didasari oleh tanatos tersebut.

Namun, dalam beberapa kasus Carok yang sering terjadi itu sebabkan karena faktor keluarga, seperti gangguan terhadap istri atau perselingkuhan sehingga sebagai bentuk pelecehan harga diri yang menyakitkan bagi laki-laki Madura. Oleh karenanya, tidak asing lagi mendengar istilah ”cemburu membawa mati” ungkapan orang Madura yang mengetahui istrinya menjalin perselingkuhan dengan orang lain, maka tindakan yang diambil oleh laki-laki Madura adalah membunuh orang yang mengganggu istrinya tersebut.

Sesuai dengan pendapat Stephen Worchel (peneliti asal Amerika dari Michigan University) bahwa cemburu dimaknai sebagai konsekuensi emosional yang sewaktu-waktu terbentuk, kehilangan pasangan akan menciptakan emosi pikiran dan perilaku rumit yang buruk. Maka dari itu, tindakan mengganggu istri, selain dianggap tindakan melecehkan harga diri, namun juga diangggap merusak tatanan sosial (arosan atoran) yang menurut pandangan orang Madura pelakunya tidak dapat diampuni dan harus dibunuh, sehingga menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

Baca juga  Peluang Jokowi Merebut Suara Prabowo di Madura

Umumnya kasus carok itu berupa gangguan terhadap istri (perselingkuhan). Dalam pendapat Albert Branca dalam bukunya The Science of Behaviour, bahwasanya itu merupakan dorongan yang datang dari dalam. Karena itu motif diartikan sebagai power yang terdapat dalam organisme yang mendorong untuk berbuat (driving force). Senada dengan pandangan Anthony Giddens (pakar sosiologis dari Inggris), dimana ia memaknai motif sebagai impuls atau dorongan yang memberi energi pada tindakan manusia sepanjang lintasan kognitif/perilaku yang memuaskan kebutuhan.

Perasaan puas dan lega (bahkan bangga) ketika sudah mencederai bahkan berhasil membunuhnya, bisa dikatakan sebagai bentuk agresi dan tindakan kekerasan. Seperti pendapatnya David Myers (professor psikologi dari Michigan University), dimana ia membagi agresi dalam dua bentuk, pertama agresi emosi (hostile aggression) dan kedua sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Agresi yang pertama sebagai ungkapan kemarahan yang dimana jika jenis ini tidak terpikirkan oleh pelaku maka bisa dipastikan tidak akan peduli jika akibat perbuatannya menimbulkan banyak kerugiaan.

Sedangkan menurut K. Lorenz merupakan pakar etologi dari Austria, agresi merupakan bagian dari naluri hewan yaitu survival (bertahan) dalam proses evolusi, agresi yang bersifat adaptif (menyesuaikan diri terhadap lingkungan) bukan dekstruktif (merusak lingkungan).

Oleh karena itu, jika ditelusuri dari kehidupan orang (laki-laki) Madura secara sosial, sejak kecil mereka telah dipersiapkan agar menjadi orang yang pemberani dan tidak dikehendaki memiliki sifat penakut. Laki-laki penakut akan selalu disindir sebagai orang odi’kacolo’ atau olle petta (banyak bicara), kedua sindiran tersebut mendeskripsikan perilaku seseorang banyak bicara ketika sedang tidak berhadapan dengan musuh, namun tidak berani ketika bertemu musuh didepan mata.

Baca juga  Tahun Hijriah dan Anggapan Kita

Alhasil, orang-orang yang selalu mendapatkan sindirian akhirnya terdorong melakukan carok guna membuktikan bahwa dirinya bukan orang seperti itu. Jadi, kondisi lingkungan juga memberikan pengaruh besar untuk masyarakat Madura melakukan carok. Sesuai dengan teori belajar sosial (social learning) dari Albert Bandura, menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang memperoleh respon-respon agresif.

Asumsi dasar teori ini sebagian besar diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku orang lain, maka dari itu social modelling menjadi metode yang sering menyebabkan agresi, anak-anak (laki-laki madura) lebih sering terpapar model agresif dibandingan model non agresif.