tutup
ght="300">
Pijar

Memahami Kekurangpahaman dalam Konflik Bendera Hitam

×

Memahami Kekurangpahaman dalam Konflik Bendera Hitam

Sebarkan artikel ini
Yoyonk-Ahirullah_Edited
Yoyonk-Ahirullah_edited

Oleh: Nara Ahirullah (Yoyonk)

Awalnya saya tidak seberapa peduli dengan ramainya persoalan pembakaran bendera hitam bertulis kalimat tauhid. Awalnya saya hanya tertawa melihat dan membaca adu argumen soal itu. Saya hanya sekilas-sekilas saja melihatnya di media sosial yang di-share orang-orang.

Tapi saya jadi merasa terganggu karena konflik pembakaran bendera hitam bertulis kalimat tauhid itu masuk ke masjid kampung saya di Surabaya. Kalau bukan karena kasihan pada si khatib Jumat (26/10) saya tidak akan tinggal diam, saya pasti interupsi ceramahnya yang berapi-api itu.

Khatib ini menyatakan tidak ada pembenar apa pun untuk membela si pembakar bendera hitam bertulis kalimat tauhid itu. “Kalimat tauhid harus dihormati di mana pun kalimat itu ada. Di bendera, di tembok, di kertas, di mana pun harus dihormati,” katanya.

Baca juga  Ngumbah Keris Ala Kyai Jonggol

Lalu khatib ini kemudian mengatakan, setelah pembakaran itu, bukan tidak mungkin Pulau Jawa akan terkena musibah. Tsunami yang tingginya hingga 15 meter. Di sini saya mulai jengkel, tapi saya tahan. Tapi saking jengkelnya saya hampir keluar masjid, tapi saya tahan. Saya nyaris menuduhnya HTI, ISIS, Wahabi, tapi saya tahan.

Shalat Jumat saya menjadi kurang khusuk karena sambil berpikir. Mengapa sampai ada khatib berceramah seperti itu?

Sambil jalan pulang ke rumah saya menduga, khatib tadi itu tidak mampu memahami kekurangpahaman orang lain. Dia sudah menghilangkan praduga si pengibar bendera HTI di acara Hari Santri Nasional (HSN) tidak paham bahwa itu bendera organisasi terlarang di Indonesia. Dia juga menghilangkan praduga si pembakar kurang paham bahwa bendera hitam bertulis kalimat tauhid itu bukan sekadar bendera bagi pihak lain. Khatib ini sepertinya juga kurang paham bahwa ceramahnya itu akan memperparah konflik di tingkat awam.

Baca juga  Belajar Istiqamah pada Kiyai Nawawi Pramian Sreseh

Pemuka agama mestinya dapat menenteramkan. Menyampaikan bahwa kekurangpahaman akan sesuatu hal akan berakibat fatal seperti yang terjadi dalam pembakaran itu. Mengimbau supaya umat dapat meningkatkan pemahamannya tentang agama supaya tidak salah dalam bertindak. Mengimbau masyarakat supaya tidak mudah terbakar emosinya dan mencoba untuk memahami kekurangpahaman orang lain.

Sambil menulis tulisan ini saya akhirnya harus memaklumi khatib salat Jumat tadi. Saya ingin memahaminya sebagai orang yang kurang paham mengenai pruralisme dan kurang paham tentang Islam yang menenteramkan dan mendamaikan. Apalagi insiden di Garut itu terjadi antar sesama muslim, dan kita berseteru, berselisih.

Perselisihan dan perseteruan kita ini apakah tidak menjadi bahan tertawaan oleh selain muslim??? (*)

Syarqawi-Dhofir
Pijar

Di negara-negara yang menggunakan hukum positif, advokasi (pembelaan)…

Politik-Bhindara
Pijar

Netralitas politik Bhindara tidak identik dengan sikap tak peduli dengan…