BANGKALAN – Bebas tarif masuk tol Jembatan Suramadu tidak sepenuhnya diapresiasi masyarakat. Pro-kontra terus datang bergantian. Sebagian masyarakat bangga dengan Jembatan penghubung Madura-Jawa itu digratiskan. Namun sebagian pula berpikir dua kali dibalik maksud digratiskannya jembatan itu.
Aktivis Kajian Kebijakan Publik Husain Afandi menyebutkan, sehebat-hebatnya masyarakat dalam bersuara, akan tumbang jinak terhadap kebijakan pemerintah. Artinya, pemerintah mempunyai beragam cara dalam menyampaikan alasan.
Meski demikian, Afandi membeberkan kepentingan Presiden Jokowi tidak bisa ditafsir bahwa itu kepentingan politik 2019. Namun tidak bisa diiyakan pula jika itu sebagai langkah kepala negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Khususnya di Madura.
Menurut dia, setelah bebas tarif tol, pemerintah akan dibebani pemeliharaan jembatan. Sebab pemeliharaan tersebut menguras anggaran tidak sedikit. Sehingga pemerintah harus jitu dalam mengalihkan dana untuk kebutuhan perawatan jembatan.
“Kalau tarif diberlakukan, mungkin biaya perawatannya diambil dari itu,” ucapnya, Rabu (7/11).
Dia berharap pemerintah tidak asal menggratiskan tanpa dilakukan kajian secara komprehensif. Sehingga dikemudian hari pemerintah tidak kelimpungan.
Dilansir dari berbagai sumber informasi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno beralasan pemerintah membebaskan tarif tol Jembatan Suramadu karena faktor kemiskinan yang tinggi di Madura membuat pemerintah berpikir ulang untuk memberlakukan tarif tol Suramadu.
Tak hanya itu, pertumbuhan sektor pariwisata di Madura juga akan terhambat jika biaya tol tidak digratiskan. Padahal, sebenarnya pemerintah memotong harga sampai 50 persen pada awal tahun di Tol Suramadu sehingga biayanya hanya Rp15 ribu. Namun, ternyata kebijakan tersebut masih memberatkan masyarakat Madura. (Tia)