tutup
ght="300">
BeritaPolitik

Pertama Kali Kata “Menang” Dipakai dalam Pemilu

×

Pertama Kali Kata “Menang” Dipakai dalam Pemilu

Sebarkan artikel ini
Pemilu Menang
Pemilu bukan olahraga tinju di mana ada yang kalah dan ada yang menang. (Gambar okeycoe.blogspot.com)

PEMILIHAN umum (pemilu) sejatinya bukan lomba. Tapi kok pakai kata “menang” dan “kalah” dalam hiruk pikuknya? Jelas ada yang pertama kali memakainya sehingga keterusan sampai sekarang. Yang akhirnya bikin suasana pemilu jadi kayak lomba Agustusan meski ini masih April.

Gini sejarahnya. Kata “menang”  digunakan sejak pemilu pertama RI tahun 1955. Harian Rakjat edisi Senin, 3 Oktober 1955, misalnya, pernah menurunkan berita utama berjudul “Di Djokjakarta, ibukota revolusi, PKI menang.”

Kalau pemilu akhirnya dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan antarkandidat, pemakaian kata menang seolah tanpa persoalan. Tapi, secara etik, kata menang sebenarnya menanggung persoalan.

Dalam KBBI V online, me.na.ng diartikan:  “v dapat mengalahkan (musuh, lawan, saingan); unggul/ meraih (mendapat) hasil (perolehan) karena dapat mengalahkan lawan (saingan).” Secara khusus, menang tepat digunakan sebagai hasil akhir dalam pertandingan atau perlombaan yang mensyaratkan keunggulan ego: pribadi atau tim.

Dengan begitu, kata menang dalam pemilu, pilpres, maupun pilkada menjadi pilihan kata yang peyoratif mengingat politik kekuasaan adalah ranah pengabdian yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Coba deh kita simak kata yang digunakan dalam politik Indonesia. Lembaga resminya dinamai KPU, Komisi Pemilihan Umum. Kerja utama lembaga ini adalah melaksanakan proses pemilihan wakil rakyat dengan varian: pemilu, pemilihan umum; pilpres, pemilihan presiden, maupun pilkada, pemilihan kepala daerah. Artinya, semua diksi yang dipakai berasal dari kata dasar pilih.Ini pemilihan, bukan lomba banyak-banyakan mengumpulkan orang buat nyoblos. Atau tinju-tinjuan sampai ada KO.

Baca juga  Logistik Pemilu Meluncur ke Pulau Sakala Sumenep, Batas Ujung Timur Provinsi Jawa Timur

Pemilihan adalah kata benda yang diturunkan dari kata kerja aktif memilih. Karena itu, pemilihan bermakna proses memilih. Dalam logika ini, munculnya menang sebagai diksi yang mengacu pada hasil akhir pemilu menjadi fals atau sumbang.

Mestinya Pakai Kata “Terpilih” bukan “Menang”

Sebagai tawaran, mungkinkah kata terpilih dihadirkan sehingga memiliki kesatuan makna dengan lembaganya, KPU. Varian kalimatnya nanti bisa ditulis: “Si Fulan terpilih sebagai Presiden RI,” atau “Partai A menjadi pilihan rakyat di Kampung Z.”

Secara gramatikal, kata terpilih adalah jenis kata kerja pasif. Hal ini menjadi logis sebagai diksi mengingat dalam proses pemilihan, yang dipilih pada dasarnya merupakan subjek pasif (calon presiden), sedangkan yang memilih merupakan subjek aktif (pemilih).

Hal ini berbeda dengan kata menang yang menyiratkan makna bahwa yang dipilih merupakan subjek aktif.  Sehingga layak dipertanyakan menang dari siapa jika pesta demokrasi adalah milik bersama.

Kalimat “Si Fulan menang (pilpres),” misalnya, secara gramatikal semakna dengan kalimat “Make Tyson menang.” Namun, dalam kontestasi politik kekuasaan, menang bukan bersifat adu unggul sebagaimana dalam perlombaan.

Baca juga  Wabup Minta Keberadaan Koperasi di Sampang Terus Dikembangkan

Dan, kata menang sendiri tidak akan lahir jika tidak dipilih oleh rakyat. Artinya, yang terjadi sebenarnya dia terpilih, bukan menang.

Untuk itu, kata menang yang sudah “disahkan” dalam tata lembaga partai politik, perlu juga dilakukan perubahan. Jika selama ini parpol memunyai divisi yang disebut “tim pemenangan”, mungkin perlu dikenalkan “tim keterpilihan.”

Mungkin kedengarannya agak risih  di kuping tapi itu lebih sesuai dengan runutan istilah pemilu, di mana pe- adalah pemilihan. Karena itu, kata keterpilihan bisa digunakan yang bermakna hal terpilih. Sama halnya dengan kata kemenangan yang bermakna hal menang. Divisinya pun bisa diberi nama “tim keterpilihan.”

Ketika seorang pemimpin mengatakan bahwa keterpilihannya sebagai pemimpin bukan soal menang dan kalah, ada kesadaran dalam dirinya bahwa politik kekuasaan bukan ajang lomba. Meskipun begitu, klausa “bukan soal menang dan kalah” yang sering disampaikan dalam pidato keterpilihan pada dasarnya kontradiktif dengan adanya divisi struktural yang disebut “tim pemenangan” pun istilah “pidato kemenangan.”Mestinya “pidato keterpilihan”. (*)

Penulis: Umar Fauzi Ballah, esais, pengelola Komunitas Stingghil Sampang, dan pengajar di Ganesha Operation.