Sekali lagi, tentang Pilkada Ulang! Mau protes mau bilang bukan Pilkada Ulang tapi Pemungutan Suara Ulang. Boleh, tapi ingat PSU ini di seluruh TPS, di seluruh desa, di seluruh kecamatan se Sampang. Lalu apa beda PSU dengan Pilkada Ulang? Lha wong essensinya sama, yakni Nyoblos Ulang.Titik!
Sama dengan sepak bola, yang ditunggu-tunggu ya cetak gol. Inilah alasannya mengapa kalau di final ketika pertandingan 90 menit tidak ada gol dilanjut dengan perpanjangan waktu, jika masih saja belum ada gol lalu adu pinalti. Makanya biar sepak bola Indonesia tidak selalu ribut, lebih baik langsung lomba adu pinalti saja. Jika masih seri bisa dilotre.
Pilkada juga begitu, point utamanya Memilih Pemimpin. Cara memilihnya melalui surat suara yang sudah disediakan. Surat suara yang berlogo dan sudah ada foto-foto sang calon pemimpin. Meski seringkali tidak pernah ketemu, tidak pernah kenal dengan foto yang di surat suara, yang penting harus di coblos.
Cara mencoblosnya pun juga harus benar. Tidak boleh diluar kotak foto, tidak boleh di dua foto apalagi tiga. Mencoblos harus berlubang, jika tidak berlubang namanya hanya dipegang. Walaupun sesudah melubangi foto, rakyat masih harus sabar melihat lubang-lubang di jalanan aspal, jalanan desa, bendungan, saluran irigasi. Anak-anak desa dipaksa melawan takut saat berada di gedung sekolah yang baru saja dibangun tapi kemudian atap dan temboknya berlubang-lubang. Akibat semen, genteng, bata yang dibuat membangun sebagian dihilangkan untuk ganti biaya foto tampil di surat suara.
Setelah melubangi foto di surat suara, rakyat miskin masih tinggal di rumahnya yang berlubang. Padahal mereka berharap rumahnya diperbaiki, namun nyatanya rumah-rumah yang berfoto di surat suara itu semakin megah. Akibat anggaran negara untuk si miskin ternyata juga banyak lubangnya. Bocor kemana-mana, sudah habis meluber di tengah jalan. Dan masih banyak lubang-lubang lain, rakyat harus sabar melihat lubang itu.
“Lho kok jadi bicara lubang?”
Wajar dong, sebab saat ini lubang teropong demokrasi sudah semakin sempit. Sehingga sangat sulit untuk melihat secara jelas bedanya pemimpin dan penguasa, bahkan cenderung kabur nan buram. Justru yang banyak ada bukan pemimpin, tapi penguasa yang dicitrakan pemimpin.
Ditampilkan seakan-akan baik, berbudi luhur dan penuh tanggung jawab. Dibedaki wajahnya agar nampak laksana seorang alim, jujur dan merakyat. Pokoknya sabun, bedak, handbody, gincu, parfum laku keras saat pilkada. Untuk merias sang idola agar terlihat pantas dikatakan sebagai pemimpin yang baik dan layak dipilih.
Itu tampilan luar, tampilan dalamnya tetaplah berwatak penguasa. Kata Guru Bahasa Indonesia dulu, penguasa itu masuk kata sifat dan kata bendanya Kekuasaan. Sebagai kata sifat maka perwujudannya harus dibendakan atau dimaterialkan. Jadi dikatakan penguasa jika sudah memegang kekuasan, kekuasaan inilah yang diperebutkan dalam Pilkada.